What Happened in Thailand?

Jika beberapa waktu lalu dunia diramaikan dengan kejadian yang ada di Myanmar atas kudeta yang dilakukan oleh Junta Militer, hal yang sama juga sedang terjadi di negara tetangganya, yaitu Thailand. Thailand sedang mengalami krisis demokrasi yang sudah terjadi sejak 2014. Thailand hingga saat ini masih berusaha untuk memiliki sistem demokrasi yang tidak dicampuri dengan kekuasaan militer, namun usaha ini nampaknya belum berjalan lancar.

Berawal dari Perdana Menteri Jenderal Prayut Chan-ocha, yang merupakan mantan panglima militer, melakukan pembatasan kebebasan masyarakat. Prayut sudah menjabat sebagai perdana menteri sejak 2014, kekuasaannya juga bermula dari militer yang melakukan kudeta terhadap YIngluck Shinawatra yang dianggap tidak memilki kapabilitas dalam menjalankan roda pemerintahan dan pemilu yang terkesan terburu-buru.

Tahun 2020 salah satu partai oposisi di Thailand, Future Forward Party, dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi karena dianggap mengambil pinjaman illegal dari pemimpinnya yaitu, Thanathorn Juangroongruangkit, dan memberlakukan larangan politik kepada dirinya selama 10 tahun, hal ini berlaku untuk 16 anggota eksekutif lainnya. Motif dibalik dibubarkannya Future Forward Party karena partai ini memilki minat bagi para anak muda di Thailand yang menginginkan adanya perubahan di pemerintahan dan dapat mengancam stabilitas negara yang didominasi oleh militer. Anggota parlemen dan partai yang tersisa akhirnya membentuk sebuah partai baru yang bernama Move Forward Party.

The Protest

Protes demokrasi ini secara inisiatif dilakukan oleh mahasiswa dan pemuda di Thailand. Gerakan mereka sudah berlangsung sejak Februari 2020, namun semenjak pandemi, pergerakan mereka mulai terhambat. Gerakan protes atas ketidakadilan ini dinamakan The Free Youth Movement. Gerakan protes selanjutnya terjadi pada 18 Juli, setelah pandemi sudah lebih membaik di Thailand. The Free Youth Movement memiliki beberapa tuntutan untuk pemerintah, seperti memberikan hak untuk kebebasan berekspresi, tidak melakukan penangkapan tanpa alasan, pembubaran parlemen, dan penyusunan konstitusi baru.

Gerakan ini semakin berkembang hingga menjadi gerakan rakyat, dengan beragam tuntutan masyarakat. Dimulai dari anak-anak yang menginginkan kebebasan di sekolah dan ruang kelas, kaum LGBTQ yang menuntut kesetaraan gender, etnis Muslim Melayu di provinsi perbatasan yang meminta diakhirinya kendali militer di wilayah mereka, buruh yang menuntut kompensasi yang adil selama pandemi, serta orang-orang yang menuntut pertanggungjawaban atas pelanggaran hak yang sudah dilakukan oleh negara. Oleh karena itu, gerakan rakyat akhirnya memiliki tiga tuntutan pokok yang harus dipenuhi oleh pemerintah, yaitu:

  1. Meminta pengunduran diri Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha;
  2. Penulisan ulang konstitusi Thailand;
  3. Reformasi monarki.

Namun, pergerakan rakyat ini masih dilakukan secara terbatas dikarenakan pemerintah yang memberlakukan jam malam dan pembatasan terkait penyebaran Covid-19 di Thailand. Alasan ini dianggap salah satu cara Pemerintah Thailand untuk menghambat demonstrasi yang ada di Thailand dikarenakan peraturan ini diperpanjang tanpa ada penjelasan dari pemerintah, walaupun jika dilihat dari data yang ada, Thailand sudah mengendalikan pandemi dengan baik.

Pada 16 Oktober 2020 pemerintah mengumumkan keadaan darurat, dan membersihkan para demonstran di luar gedung pemerintah dengan menggunakan meriam air dan gas air mata. Pada 22 Oktober pemerintah akhirnya mencabut keadaan darurat dan menuduh demonstran karena berkumpul secara illegal dan dianggap melanggar keputusan pemerintah terkait keadaan darurat. Beberapa pemimpin demo juga menjadi terdakwa karena dianggap melakukan kekerasan pada raja, padahal hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Tidak hanya pendemo, namun para aktivis juga ditangkap dengan dalih melanggar peraturan terkait pembatasan jarak sosial yang bertujuan untuk mengendalikan laju penyebaran Covid-19.

Keadaan darurat yang dideklarasikan oleh pemerintah Thailand diberlakukan untuk mendakwa para siswa yang datang ke sekolah dan universitas yang menggunakan atribut pita putih atau penghormatan tiga jari di lingkungan masyarakat. Tiga jari ini terinspirasi dari film The Hunger Games yang diartikan sebagai simbol pembangkangan terhadap pemerintahan yang otoriter. Polisi mendatangi sekolah untuk mengintimidasi siswa dengan menanyakan anak-anak yang ikut berdemonstrasi dan mengambil foto mereka tanpa izin.

Pasal 112 (lèse-majesté)

Perdana menteri juga menggunakan undang-undang tentang penghinaan sistem monarki Thailand yang ada di pasal 112 atau lebih dikenal sebagai hukum lese majeste. Pasal ini dapat digunakan pemerintah untuk menghukum siapapun dengan hukuman sampai 15 tahun penjara. Perundang-undangan ini sebelumnya tidak pernah digunakan selama 2 tahun terakhir karena perintah dari raja, namun semenjak kekuasaan dipegang oleh Prayut, undang-undang ini mulai digunakan dan sudah ada 14 aktivis yang didakwa menggunakan undang-undang ini pada 19 November 2020.

Pergerakan rakyat akhirnya melakukan demonstrasi secara mikro dengan membawa spanduk bertuliskan 112 di jembatan pejalan kaki dan pusat perbelanjaan sebagai bentuk untuk menantang keabsahan hukum lese majeste. Penggunaan hukum lese majeste oleh pemerintah membuat masa tahanan menjadi sangat berat, bahkan beberapa warga sipil yang didakwa menggunakan hukum ini dijatuhkan hukuman sampai puluhan tahun. Hukum lese majeste ini akhirnya menjadi perlindungan bagi pemerintah bagi mereka yang berniat untuk menghancurkan oposisi politik yang pro akan demokrasi.

Current Situation

Protes di tahun 2021 semakin membesar karena penangkapan atas warga sipil dan penggunaan undang-undang berdasarkan fitnah. Pada bulan Februari 2021, terjadi protes secara massal oleh masyarakat dan disambut oleh pihak berwenang dengan peluru karet, pentungan, gas air mata, dan meriam air. Protes yang terjadi sejak setahun yang lalu, dilakukan secara damai namun penangkapan atas demonstran dan anak-anak terus dilakukan baik secara terang-terangan ataupun tidak. Penangkapan ini membuktikan bahwa pemerintah secara tidak langsung membungkam kebebasan berpendapat masyarakat yang sejak awal dilakukan secara damai. Demonstran yang terjadi pada Februari 2021 juga berakhir dengan 23 orang resmi ditangkap, 4 anak-anak, dan 4 remaja ditahan di markas polisi yang berada di provinsi Pathun Thani. Tidak hanya demonstrasi secara massal, para aktivis juga menutup Monumen Demokrasi Bangkok dengan kain merah sebagai tanda kematian demokrasi di Thailand.

Sumber:

https://www.hrw.org/world-report/2021/country-chapters/thailand

https://www.bbc.com/news/world-asia-54542252

https://www.dw.com/en/thailand-protesters-march-on-government-offices-in-bangkok/a-55271239

Jangan Lupa Cek Postingan Sebelumnya!

Leave a comment